Sabtu, 11 Maret 2017

Ketika SURGA Ditentukan Oleh KOTAK SUARA : -Fenomena Aksi Bela Islam tentang QS. al-Maidah Ayat 51-



KETIKA SURGA
DITENTUKAN OLEH KOTAK SUARA
-Fenomena Aksi Bela Islam tentang QS. al-Maidah Ayat 51-
Oleh: MUH ALWI HS

Tanggal 4 November 2016 menjadi fenomena luar biasa dalam sejarah Islam di Indonesia, tidak kurang dari Tiga Juta orang seketika membanjiri Ibu Kota Negara ini, berbagai kalangan dari anak-anak sampai orang tua, dari sabang sampai marauke, mereka berbondong-bondong ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta, untuk menyuarakan pembelaannya untuk Agamanya yang telah dinistakan oleh Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab dikenal Ahok.


Tidak berhenti di tanggal 4 November, Aksi Bela Islam itu berlanjut pada tanggal 2 Desember 2016. Kali ini jumlah orang yang ikut dua kali lipat lebih besar dari jumlah orang pada aksi 4 November yang lalu, yakni Tujuh Juta orang. Ini merupakan aksi unjuk rasa (Demo) yang kedua terbesar dalam sejarah Indonesa, di samping pernah terjadi tragedi tahun 89 silam.
Fenomena ini seketika menjadi viral di seluruh media, tidak hanya media di Indonesia, bahkan media luar Negeri pun meliput kejadian luar biasa ini.


Maka tidak heran jika berbagai kalangan etnis tidak henti-hentinya membincangkan persoalan ini. Dari tokoh Agama, Budayawan, dan tentunya para Politikus.

Dimulai dari diskusi-diskui kecil, sampai kemudian pembincangan tentang sosok Ahok memasuki tahap menegangkan seperti gambar di atas. Indonesia Lawyers Club, adalah satu dari banyak program media yang menampilkan kasus Ahok untuk diperbincangkan oleh para ahlinya. Ahok dianggap telah melakukan penistaan Agama Islam di Kepulauan Seribu, sebagaimana yang termuat dalam sebuah Video yang diunggah oleh Buni Yani.


Apa yang dilakukan oleh Ahok di atas kemudian menimbulkan banyak reaksi dari berbagai kalangan, secara tidak langsung bermunculan berbagai kalangan yang mencoba untuk menjelaskan apa yang terkandung oleh surah Al-Maidah ayat 51 itu. Seperti dalam diskusi ILC di atas, Nusron Wahid menegaskan bahwa tidak ada satupun orang yang mampu mengetahui secara pasti apa yang dimaksud oleh al-Qur’an selain Nabi Muhammad, karena hanya beliaulah yang diberikan keistimewaan khusus dari Allah sehingga bisa menjelaskan al-Qur’an.


Adu Penafsiran

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ
بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ
ٱلظَّٰلِمِينَ

Dengan cepat penafsiran surah al-Maidah ayat 51 banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Ketua Forum Pembela Islam, Habib Rizieq mengatakan bahwa jelas ayat tersebut berbicara tentang larangan memilih Pemimpin non-Muslim, sebagaimana kata Auliya diartikan sebagai Pelindung, Penolong, Pemimpin, Pengatur, dan Pengurus.


Sementara itu, Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa makna pemimpin hanya merupakan salah satu makna yang dimaksud oleh kata Auliya. Lebih jauh, dari beberapa kitab tafsir tidak dikatakan bahwa Auliya bermakna pemimpin, akan tetapi dia bermakna teman dekat. Argument selanjutnya, yakni dari segi konteks ayat, di mana konteks yang dihadapi oleh ayat ini yaitu adanya propokasi yang dilakukan oleh Abu bin Ubay, terlebih lagi saat itu baru saja terjadi peperangan. Dalam kasus Ahok, umat Islam jangan terlalu terpaku dengan makna “jangan memilih pemimpin non-Muslim”, karena hal ini berpotensi untuk mengurangi kemaslahatan fiqh, ajaran Islam.


M. Quraish Shihab, seorang Mufassir kontemporer menjelaskan tentang surah al-Maidah ayat 51, bahwa kata Auliya adalah bentuk jamak dari kata Wali yang berarti orang yang dekat. Waliyullah artinya orang yang dekat dengan Allah, Wali Nikah artinya orang yang dekat dengan seorang perempuan sehingga ia berhak mendampinginya sehingga tidak mudah dibohongi oleh orang lain. Lebih jauh, Quraish Shihab mengatakan bahwa jangan angkat Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin kamu jika mereka enggang menghormati ajarah Umat Islam, tetapi jika mereka (Yahudi dan Nasrani) menghormatinya, dan mementingkan kemaslahatan rakyat, maka itu boleh dipilih. Dengan kata lain, yang dilarang oleh ayat ini adalah ketika hubungan kita (umat Islam) sudah sampai sama persis dengan mereka (Yahudi dan Nasrani) sehingga tidak ada lagi batas dalam hubungan itu yang akhir mencampur adukkan ajaran agama.


Penafsiran yang dilakukan oleh Quraish Shihab di atas pada dasarnya tidak dikhususkan pada kasus Ahok. Akan tetapi, berbagai kalangan kemudian mengangkat penafsiran Quraish Shihab tidak hanya untuk mengetahui tafsiran al-Maidah ayat 51, tetapi juga untuk kepentingan kasus Ahok ini.
Sahiron Syamsuddin juga merespons permasalahan mengenai surah al-Maidah ayat 51 ini dengan menyampaikan penafsirannya sebagaimana yang dimuat dalam kolom akademik UIN Sunan Kalijaga, berikut pernafsirannya:

Penafsiran Kontekstualis Atas QS. al-Maidah: 51
Jumat, 4 November 2016 10:32:31 WIB
Oleh: Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA,
WR II UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Ketua Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir se-Indonesia (AIAT)
Secara literal, Q.S. al-Ma’idah: 51 ini berisi tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai awliya’. Pertanyaannya adalah apa arti kata tersebut? Bagaimana konteks hiistorisnya? Dan apa ide moral yang mungkin dikandung oleh ayat tersebut? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa untuk memahami Q.S. al-Ma’idah: 51, seseorang harus memperhatikan aspek bahasa, konteks historis dan ide moral yang terkandung di dalamnya. Terkait dengan aspek bahasa, sebenarnya ayat tersebut mengandung beberapa kosa kata yang harus dianalisa secara cermat. Namun, tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk membahas semuanya. Hanya kata awliya’ yang akan diterangkan di sini. Kata tersebut diterjemahkan oleh sebagian penerjemah di Indonesia dengan ‘pemimpin-pemimpin’. Hal ini bisa kita lihat, misalnya, di Tafsir al-Azhar, karya HAMKA. Meskipun demikian, apabila kita melihat kitab tafsir-tafsir klasik, maka kita akan mendapati keterangan yang cukup berbeda dengan sebagian terjemahan Indonesia tersebut. Muhammad ibn Jarir al-Thabari, misalnya, menafsirkan kata awliya’ dengan anshar wa hulafa’ (penolong-penolong dan aliansi-aliansi atau teman-teman dekat) (al-Thabari, Jami‘ al-Bayan 8: 507). Terjemahan yang mendekati dengan penjelasan al-Thabari adalah terjemahan M. Quraish Shihab atas kata tersebut: ‘para wali’ (teman dekat dan penolong) (Q. Shihab, al-Qur’an dan Maknanya, h. 117). Singkat kata, baik al-Thabari maupun Quraish Shihab tidak menafsirkan kata tersebut dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan. Dari segi konteks historis, para ulama berpendapat bahwa memiliki sababun nuzul (sebab turunnya ayat). Mereka menyebutkan beberapa riwayat yang bervariasi. Sebagian mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan kisah ‘Ubadah ibn al-Shamit yang tidak lagi mempercayai kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah sebagai aliansi yang bisa membantu umat Islam dalam peperangan, dan ‘Abdullah ibn Ubayy ibn Salul yang masih mempercayai mereka sebagai kawan dalam peperangan. Sebagian riwayat lain menerangkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan Abu Lubabah yang diutus Rasulullah Saw kepada Banu Quraizhah yang merusak perjanjian dukungan dan perdamaian dengan Rasulullah dan umatnya. Riwayat yang lain lagi merangkan bahwa ayat tersebut terkait dengan kekhawatiran umat Islam menjelang terjadinya perang Uhud (pada tahun kedua Hijriyah); karena itu, sebagian dari mereka mencoba meminta bantuan teman-teman Yahudi, dan sebagian yang lain ingin meminta bantuan kepada kaum Nasrani di Madinah; ayat tersebut turun untuk menasehati umat Islam saat itu agar tidak meminta bantuan kepada mereka. Terlepas dari variasi riwayat-riwayat tersebut di atas, bisa digarisbawahi bahwa ayat tersebut turun dalam konteks peperangan, dimana kehati-hatian dalam strategi perang harus selalu diperhatikan, sehingga tidak boleh meminta bantuan dari pihak-pihak lain yang belum jelas komitmennya. Dengan kata lain, konteks historis turunnya ayat itu bukan pertemanan dalam situasi damai, dan bukan pula konteks pemilihan kepala pemerintahan. Melihat hal-hal tersebut di atas, ide moral atau pesan utama dari ayat itu adalah, paling tidak, sebagai berikut. Pertama, perintah untuk berteman dengan orang-orang yang bisa dipercaya, khususnya dalam hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan larangan untuk memilih aliansi dan teman yang suka berkhiyanat. Prilaku adil kepada semua orang harus ditegakkan dan kezaliman/ketidakadilan harus ditinggalkan. Kedua, komitmen bersama dan saling menjaga perjanjian/kesepakatan bersama itu harus ditegakkan dan tidak boleh dikhiyanati. Apabila komitmen dan perjanjian itu dirusak secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah kehilangan trust (kepercayaan) dari kelompok yang dikhiyanati, sebagaimana kehilangan trust umat Islam Madinah pada masa Nabi kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang menyalahi The Medinan Charter (Piagam Madinah) yang salah satu intinya adalah saling menolong dan membantu antarkomunitas saat itu di Madinah. Ketiga, ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Islam hanya mengajarkan bahwa kepala negara atau daerah sebaiknya orang yang mampu berbuat adil kepada seluruh masyarakat yang berada di wilayah kekuasaannya, tanpa memandang perbedaan agama dan suku.

Berbagai penjelasan di atas menunjukkan adanya perbedaan dalam memahami ayat al-Qur’an, khususnya pada ayat 51 surah al-Maidah. Lebih jauh, hal ini membuktikan bahwa upaya penafsiran tersebut tidak berangkat dari ruang kosong, artinya seseorang yang melakukan penafsiran atas al-Qur’an senantiasa dilingkup oleh situasi, latar belakang keilmuan, ataupun konteks yang dijalani oleh penafsir. Hal itu kemudian menunjukkan bahwa tidak ada penafsir yang benar-benar objektif.[1] Dalam hal ini, mengutip Gadamer tentang teori “Prapemahaman” yang mengatakan bahwa:
(Dalam proses pemahaman, prapemahaman selalu memainkan peran; prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, di mana seorang penafsir berada, dan juga diwarnai oleh prejudis-prejudi [Vorurteile; perkiraan awal] yang terbentuk di dalam tradisi tersebut).[2]

Kebenaran dan Kebaikan
Terlepas dari persoalan subjektif atau tidaknya orang dalam menafsirkan al-Qur’an, di sini penulis hendak menyampaikan bahwa penafsiran yang baik adalah penafsiran yang tidak menyalahkan penafsiran orang lain, apalagi hendak menghakimi dan menyudutkan pendapat orang lain. Lebih dari itu, persoalan memahami al-Qur’an merupakan kebebasan manusia sebagai makhluk yang berakal selama itu tidak bertentangan dengan esensi dan eksistensi al-Qur’an.
Selanjutnya, kita juga hendak memahami bahwa penjelasan tentang al-Qur’an yang kita lakukan sangat cepat merambak untuk diketahui orang lain, hal ini selanjutnya akan berpengaruh pada tindakan manusia kepada sosial. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah penjelasan tentang pentingnya kedewasaan dalam menyampaikan pendapat, agar bisa dijadikan pandangan.

DEWASA DALAM BINGKAI OTORITAS TEKS
Kehidupan semakin berkembang, zaman terus berubah, namun sayangnya kedewasaan hidup beragam semakin terlukai. Lebih jauh, mungkin inilah dampak dari ‘dunia semakin menyempit’, satu pendapat dengan cepat merambak ke telinga orang lain, yang kadang –atau seringkali- tidak sesuai dengan pendapat yang lain. Satu sisi kita menyadari, bahwa orang dahulu dengan orang sekarang berbeda dalam memandang dunia ini. Orang dahulu menganggap dunia ini hanya sebatas sekitar daerahnya saja, sehingga tidak menyadari kalau ada dunia lain yang berada jauh dari tempatnya. Sebaliknya, pandangan terhadap dunia bagi orang-orang yang hidup pada masa sekarang, karena kecanggihan elektronik, telah mampu menyaksikan dunia yang lebih luas.[3]
Nampaknya jarak yang semakin sempit ini, membuat perbedaan-perbedaan itu menjadi persoalan serius. Ia (perbedaan) tidak lagi dijadikan sebagai wawasan pengetahuan, tidak lagi menjadi ajang untuk saling menghormati. Akan tetapi, perbedaan kini menjadi alat untuk menyudutkan seseorang (atau etnis) tertentu, bahkan sampai pada titik kekerasan. Padahal “sebuah perbedaan, tidak harus berakhir dengan perselisihan, dan sebuah perselisihan tidak harus berakhir dengan kekerasan.”[4]
Tulisan ini berusaha menyelami perbedaan yang lahir dari sebuah teks (al-Qur’an dan Hadits). Hal ini dilakukan, atas penyadaran penulis bahwa ada banyak tugas yang harus kita selesaikan untuk merespons perbedaan itu, terutama dalam hal ini, adalah tentang bagaimana seseorang bersikap pada perbedaan yang lahir atas pandangan terhadap sebuah teks (baca: al-Qur’an dan Hadits) untuk kemudian menjadi sebuah legitimasi otoritas bagi pengkajinya. Lebih jauh, penulis di sini berasumsi bahwa perilaku (tindakan) manusia sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang dia miliki. Dikaitkan dengan teks, apa yang dipahami dari teks maka itulah kemudian tercermin dalam tindakan.

Menyelami Perbedaan
Jika kita mencari awal perbedaan itu, maka kita akan menemukan bahwa teks itu sendiri yang memicu munculnya perbedaan. Hal ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an, misalnya, apakah sebauh ayat itu muhkam atau mutasyabih, apakah sebuah ayat itu  bersifat umum atau khusus. Inilah yang kemudian para pengkaji al-Qur’an terjadi perbedaan dalam kesimpulan kajiannya.[5] Karena itulah kita tidak bisa menentukan bagaimana supaya mencapai puncak kebenaran sejati.
Paling tidak, kita senantiasa disemangati oleh hadits yang menyatakan bahwa orang yang melakukan ijtihad (kreatifitas) akan mendapatkan pahala. Jika ijtihadnya benar, maka dua pahala yang didapatinya. Tetapi, jika ijtihadnya itu salah, maka satu pahala baginya. Sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan dalam berijtihad.[6] Namun, dalam ijtihad tersebut, terlebih dahulu harus dibedakan mana yang bisa diijtihadkan sehingga terjadi perubahan, dan mana yang tidak perlu diijtihadkan. Dalam konteks ini, urusan yang berkaitan dengan ibadah, maka itu tidak boleh diganggu gugat. Sementara, jika urusan itu berkaitan dengan muamalah, maka diperlukan adanya ijtihad itu.[7]
Dalam Ijtihad itu sendiri, kemudian menimbulkan adanya perbedaan satu pendapat dengan pendapat lain. Untuk tetap menjaga keharmonisasian, maka dalam hal kita perlu mempelajari kaidah fukaha, bahwa “bisa jadi pendapatku benar, sementara pendapat yang lain salah. Sebaliknya, bisa jadi pendapatku salah, dan pendapat yang lain benar”.[8] Selain itu, penulis menekankan perlunya kesepahaman terhadap perbedaan-perbedaan yang muncul. Jika yang demikian itu dipegang teguh, maka tidak akan ada dikotomi otoritas teks, sehingga melekatlah sikap kedewasaan kita dalam merespons tiap perbedaan pemahaman teks.


Dalam Tulisan Fahruddin Faiz tentang Kekerasan Intelektual Dalam Islam (Telaah Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), dalam Jurnal Esensia Vol. XIII NO. 1. Januari 2012. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di sana dikemukakan betapa kejamnya kekerasan yang berlandaskan pada pengetahuan, terlebih lagi jika si pemilik otoritas pengetahuan itu merupakan kaum elit, tokoh penting dalam masyarakat, ini tentu sangat berbahaya lantaran pendapatnya itu tentu saja mampu mempengaruhi bahkan mengajak ataupun memaksakan kehendaknya agar orang lain setuju dengan hasil pemikirannya. Pada kenyataannya, telah banyak ulama yang tertindas bahkan dihukum mati hanya karena tidak sependapat dengan pendapat yang pemerintah saat itu. Imam Abu Hanifah, seorang cendikiawan besar Muslim, karena tidak setujuh dengan pendapat dan keputusan dari Khalifah al-Manshur, lalu beliau diracuni sampai beliau meninggal. Keputusan politik telah menggugurkan nyawa seorang Imam besar umat Islam.
Dalam konteks sejarah Indonesia, banyak pula tragedi yang sangat disayangkan. Terbunuhnya Hamzah Fanzuri, misalnya, ia harus menerima sanksi atas berbedanya dia dengan pendapat-pendapat sekitarnya, hingga akhirnya dia juga wafat. Banyak yang bersuara mengatakan bahwa Fanzuri telah jauh tersesat dari apa yang ditentukan oleh ajaran Islam. Di sana lebih jauh, bukan faktor agama yang ternyata menyebabkan Fanzuri tersiksa, tetapi karena politik yang oleh Sultan Iskandar Tsani menjadikannya tercelah.
Atas kekejaman ini, penulis kemudian tertarik dengan puisi yang diluncurkan oleh Musfiq Ali yang berjudul BELA-NISTA.

BELA-NISTA
;Demo 4 November

Hingar orang-orang bertaburan
Di jalan-jalan metropolitan semua berjejeran
Mengepal tangan dengan suara yang menentang
Katanya, ada seseorang menistakan al-kitab Islam
Yang bersembunyi di balik pemerintahan ibu kota

Sedari beberapa pekan sebelum sumpah pemuda dirayakan ulang
Gerombolan orang-orang bersorban sudah memenuhi jalan
Sembari bersorak poranda membela Qur’an; ujarnya
Mengutip ayat Maidah yang disalahtafsirkan

Di antara paduka dan pemuka agama
Mereka menyebut namaMu duhai Pencipta
Allahu Akbar katanya
Dengan pakaian serba putih menutup aspal
Selebihnya mengucap jancuk kala senja bersambut petang


Yogyakarta, 04.11.16


Kotak Suara dan Surga Ilahi
Kafir!, tidak menghargai al-Qur’an!, mendukung penista Agama!, sampai tidak akan dishalati jenazah umat Islam yang mendukung penista Agama!.


Demikianlah, statement yang tiba-tiba bermunculan untuk ditujukan kepada para pendukung Ahok. Kejadian ini menjadi fenomena baru tatkala menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Bagi warga Jakarta yang beragama Islam, ini merupakan instruksi secara tidak langsung untuk tidak memilih pemimpin selain Muslim, di mana saat itu terdapat tiga calon pasangan gubernur dan wakil gubernur, satu di antaranya adalah Ahok yang berlatar belakang agama bukan Islam.


Fenomena seperti ini menambah wawasan tentang penentuan gerak atau bahkan penyempitan kebebasan umat Islam. Lebih jauh, bahwa ungkapan “Masjid ini tidak mensholatkan Jenazah pendukung dan pembela penista agama” merupakan rambu-rambu akan tidak masuknya ke dalam Surga bagi orang yang membela penista agama. Lebih jauh, dalam pencoblosan kertas suara, orang Islam yang memilih sesama umat dinyatakan masuk surga, sebaliknya jika orang Islam memilih non-Muslim, maka Neraka baginya.
Jika pernyataan ini dibawa ke rana otoritas Tuhan, pernyataan tersebut sadar atau tidak, telah ‘mengambil alih’ wewenang Allah tentang siapa yang berhak masuk Surga dan siapa yang masuk Neraka. Padahal, mengenai Surga dan Neraka hanya Allah yang mengetahuinya. Allah adalah Pemilik Tunggal atas Surga dan Neraka, hanya Dia berhak memasukkan ke dalam surga siapa yang dikehendaki-Nya, begitu pula sebaliknya hanya Dia pula yang berhak siapa yang masuk ke Neraka. Karena itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa bahkan Nabi Muhammad sekalipun tidak ada jaminan bahwa ia (Nabi Muhammad) masuk surga, karena urusan surga adalah hak dan wewenang mutlak pribadi Allah.


Penistaan Agama...???
Basuki Tjahaha Purnama, Gubernur DKI Jakarta, seorang yang beragama Kristen, baik secara luar apalagi mendalam dapat dipastikan tidak mampu memahami apa yang terkandung dalam al-Qur’an itu, khususnya surah al-Maidah ayat 51. Namun demikian, Gubernur yang akrab disapa Ahok itu secara langsung menyinggung apa yang sebenarnya bukan menjadi wilayahnya. Lebih jauh lagi, ungkapan “dibohongi Pake Surah al-Maidah 51 macam-macam itu” seketika menjadikannya tersangka sebagai Penista Agama Islam.
Kasus yang dihadapi oleh Ahok ini seakan menjadi pukulan keras baginya, ia harus berhadapan dengan tuntutan yang dilontarkan oleh tidak kurang dari tujuh juta umat Islam di Indonesia, baik itu orang-orang Islam yang paham dengan kandungan al-Maidah ayat 51, ataupun yang tidak mengenal sekalipun bagaimana redaksi ayatnya.
Sekalipun Ahok mengaku bahwa perkataannya tersebut sungguh tidak bermaksud untuk merendahkan kitab Suci umat Islam. Akan tetapi, paling tidak perkataan sekaligus konteks yang dijalani Ahok bermakna bahwa ia sepakat dengan ayat tersebut berbicara larangan memilih pemimpin dari non-Muslim, termasuk dirinya. Meski demikian, jika pembincangan tentang perilaku Ahok dikategorikan sebagai menistakan agama, maka akan sangat banyak penista-penista agama yang kerap terungkap. Bahkan, Habib Rizieq, yang dalam kasus Ahok menjadi orang nomor satu dalam meminta agar Ahok segera dipenjarakan, ia (Rizieq) juga sempat menyampaikan ceramah yang serupa dengan perkataan Ahok.

“Dia nipu umat Pakai ayat Qur’an, dia nipu umat pakai Hadis Nabi” ungkapan Habib Rizieq yang sangat senada dengan “dibohongi Pake Surah al-Maidah 51 macam-macam itu” sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahok. Kedua ungkapan itu hendak mengemukakakn bahwa ada orang yang menggunakan ayat al-Qur’an untuk menipu atau membodohi umat Islam.
Selanjutnya, penulis menegaskan bahwa sekalipun Ahok karena perkataannya kemudian disebut sebagai penista agama, akan tetapi sebagai umat agama yang bervisi dan sangat menjunjung tinggi perilaku kasih sayang, lemah lembut, sebagaimana perilaku tersebut merupakan perwujudan dari Islam sebagai agama yang Rahamatan lil alamain. Maka hendaknya umat Islam secara umum, dan para pemegang otoritas agama secara khusus, untuk tidak mengabaikan risalah agama tersebut, apalagi hendak melakukan kekerasan ataupun kemunkaran terhadap orang lain.
Lebih jauh lagi, jika perilaku Ahok tersebut pada akhirnya menimbulkan reaksi sejuta umat Islam untuk menyatakan pembelaannya kepada Agama, bahkan sampai menyeret Gubernur Jakarta tersebut ke dalam penjara. Maka, semestinya telah terjadi berbagai peperangan antara umat Islam dengan non-Islam di seluruh daerah di Dunia. Kita sangat akrab dengan sejarah Orientalis, mereka melakukan berbagai cara untuk meruntuhkan agama Islam, tidak hanya menistakan, mencelah, ataupun mengkritik agama Islam. Dalam buku Abdullah Saeed yang berjudul “Pengantar Studi al-Qur’an”, mengemukakan bahwa betapa ‘dipandang sebelah matanya’ Islam pada abad-abad sebelum abad 18. Tidak hanya untuk dihindari, bahkan Islam sebelum abad 18 termasuk ajaran sasaran penghancuran. Berbagai cara dilakukan, bahkan mereka (Barat) mempelajari bahasa Arab sekalipun hanya ‘berniat’ mengingjak nilai Islam (al-Qur’an). Akan tetapi, serangan yang dilakukan oleh para Orientalis itu kemudian dilakukan dilawan oleh umat Islam yang ahli mengenai ajaran Islam, baik al-Qur’an maupun Hadits, dengan membangun argument pengetahuan bahwa al-Qur’an Hadits tidaklah seperti yang mereka nistakan, tidak dengan kekerasan.
“Terjadinya perpecahan dalam umatku bukanlah disebabkan dari orang lain, melainkan dari umat Islam sendiri”, kira-kira demikianlah maksud dari sebuah perkataan Nabi menggambarkan umat Islam mendatang, yang hendaknya menjadi renungan bagi kita dalam menjaga agama kita, bahwa sekalipun orang lain melakukan berbagai cara untuk menghancurkan agama kita, akan tetapi jika kita tidak terpengaruh, tidak goyang dengan keyakinan kita, maka tidak akan terjadi perpecahan dalam umat Islam, dan tentu rahmat Islam akan senantiasa menjadi naungan hidup seluruh umat manusia, bahkan alam sekalipun.


Bela Agama???
Bela Agama, kata yang berhasil mengipnotis umat Islam sampai rela mengorbankan apa yang dia miliki untuk melakukan dua kata itu. Bahkan tidak jarang kita menemukan adanya statement bahwa “Saya rela kehilangan nyawa, asalkan agama saya tidak dihina”. Saat kejadian inilah Agama berhasil mengalienasi penganutnya, agama telah berhasil menghapus jati diri manusia sebagai makhluk yang bebas berkehendak.
Terjadi kebingungan dengan istilah “Bela, membela, ataupun Pembelaan” yang ditujukan kepada “Agama”. Hal ini karena istilah “Bela” muncul untuk sesuatu atau seseorang (ataupun kelompok) yang tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Misalnya, dalam persidangan diadakan Jaksa Pembela untuk orang yang mendapatkan kasus terdakwah, ataupun tersangka. Jaksa tersebut dijadikan orang yang perannya untuk membela partner (klien)nya agar tersangka bebas dari problem yang dihadapinya, ataupun paling tidak hukuman yang akan didapatinya menjadi berkurang lantaran telah dilakukan oleh pembelaan.
Sementara “Agama” merupakan sesuatu yang luar biasa, kekuatannya tidak terbatasi, bahkan ia menjadi ajaran yang mampu menyelamatkan manusia (umatnya), lebih tepatnya agama menjadikan manusia tidak kacau dalam menjalani kehidupan. Islam, sebagai agama yang menghubungkan manusia dengan Allah Yang Maha Kuasa, Tuhan Pencipta langit dan bumi, tidak akan berpengerahu kekuasaannya baik manusia itu beriman ataupun tidak. Ada banyak dalil, baik dari ayat al-Qur’an, Hadits Nabi, bahkan secara kesadaran diri (Akal sehat) manusia pun, menunjukkan keagungan Allah yang tidak terbatasi. Sehingga Allah sangat tidak membutuhkan pembelaan dari manusia yang kekuataannya jauh sangat sedikit dibandingkan dengan Tuhan.
Sebuah Film berjudul PK, menggambarkan tentang manusia yang seringkali melegitimasi kehendaknya dengan atas nama Tuhan. Lebih jauh, film ini mengungkap manusia yang hendak membela dan melindungi Tuhan.

Dalam film itu, seorang Pendeta bernama Mr. Tapasviji atau akrab disebut Jaggu hendak menunjukkan bahwa ia akan melindungi Tuhan dengan tangannya. Pernyataan pendeta itu pun dengan cepat direspons oleh PK.


“Kau dapat melindungi Tuhan?” sebuah pertanyaan yang bermakna keraguan besar dari seorang PK, hal ini karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Tuhan itu Maha Kuasa.


“Tuhan yang membuatnya Dia melindungi alam semesta” termasuk diri dan kuasa yang dimiliki oleh Jaggu itu. Maka tidak heran jika PK menolak pernyataan Jaggu ingin melindungi Tuhan.


Sekalipun hanya sebatas film, tentu siapapun itu akan sependapat bahwa film tersebut mengajarkan betapa tidak butuhnya Tuhan atas membelaan dari Manusia. Maka kemudian pertanyaan yang harus direnungani bersama, bahwa ketika kita hendak membela Agama Tuhan, apakah kita saat itu masih percaya, meyakini, beriman bahwa Allah Maha Kuasa?.


. . .



[1] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 56-57.
[2] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm, 46.
[3] Al Makin, Keragaman Dan Perbedaan, Budaya Dan Agama Dalam Lintas Sejarah Manusia, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2016), hlm, 92.
[4] Fahruddin Faiz, Kekerasan Intelektual Dalam Islam (Telaah Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), dalam Jurnal Esensia Vol. XIII NO. 1. Januari 2012. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm, 2.
[5] Misalnya dalam kasus penciptaan perempuan (QS. An-Nisa: 1), pada kata nafs ada yang menafsirkan “adam”, ada juga yang menafsirkan “jenis yang sama”.
[6] Lebih jauh, rujuk Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, terj, (Jakarta: PT Serambil Ilmu Semesta, 2004), hlm, 22-23.
[7] Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an, Terj, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016), hlm, 243-244.
[8] Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita, Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an, Terj, (Jakarta: Zaman, 2013), hlm, 303.

Related Posts

Ketika SURGA Ditentukan Oleh KOTAK SUARA : -Fenomena Aksi Bela Islam tentang QS. al-Maidah Ayat 51-
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.